Ancaman Allah Bagi Orang Yang Memusuhi Wali-Nya
“Muhammad bin Utsman bin Karamah bercerita kepada kami, Khalid bin Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman bin Bilal bercerita kepada kami, Syarik bin Abdullah bin Abu Namr bercerita kepadaku dari ‘Atha' dari Abu Hurairah ra. berkata Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia dan Mahabesar berfirman, ‘Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunah-sunah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dipakai untuk mendengar, penglihatannya yang dipakai untuk melihat, tangannya yang dipakai untuk menampar dan kakinya yang dipakai untuk berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku pasti memberinya, jikalau ia meminta pertolongan kepada-Ku, pasti Aku pasti melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan ibarat kebimbangan-Ku terhadap jiwa hamba-Ku yang beriman yang mana ia tidak bahagia mati, sedangkan Aku tidak bahagia berbuat jelek terhadapnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, Bab Tawadhuʻ, Jilid VIII halaman 105)
PENJELASAN HADIS
Nama lain dari Muhammad bin Utsman bin Karamah sebagaimana terdapat di dalam hadis yakni Al-‘ijli Al-Kufi. Khalid bin Makhlad yakni Al-Qathwani Al-Kufi. Sulaiman bin Bilal yakni Abu Ayyub At-Tamimi. Sedangkan ‘Atha' yakni ‘Atha' bin Yasar.
Lafal Wali, merupakan wazan fa‘íl yang berarti maf‘ūl yaitu orang yang urusannya dilaksanakan oleh Allah. Hal tersebut sebagaimana firman Allah:
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.”
Atau lafal wali merupakan فَعِيْلٌ yang merupakan sighat mubalaghah dari فَاعِلٌ yaitu orang yang melaksanakan ibadah kepada Allah dan mentaati-Nya. Dengan demikian, wali yakni orang yang melaksanakan ibadah secara berkesinambungan, tanpa dibarengi kedurhakaan sedikit pun di dalamnya. Seseorang dikatakan wali manakala mempunyai dua unsur; senantiasa beribadah dan bertakwa kepada Allah, sehingga dengan kedua unsur tersebut ia senantiasa menjalankan hak-hak Allah dengan semaksimal mungkin dan memeliharanya baik dalam keadaan suka dan duka.
Di antara tanda seorang wali yakni mahfuzh (dijaga), sedangkan tanda seorang nabi yakni ma‘shum (dijaga). Dengan demikian, setiap orang yang berpaling dari syara‘ (menganggap seorang wali, tapi tidak disertai bukti sebagaimana yang ditentukan oleh syariat) merekalah orang yang tertipu.
Imam Al-Qusyairi menjelaskan, yang dimaksud dengan “seorang wali dijaga/terpelihara” yakni ia dijaga oleh Allah sehingga tidak tergelincir ke dalam kesalahan atau dosa secara terus-menerus. Jika ia terjerumus ke dalam dosa, maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk bertobat, sehingga Allah pun mendapatkan tobatnya. Jika tidak demikian, maka dosa atau kesalahan yang diperbuat oleh wali hanyalah sebatas dosa atau kesalahan kecil yang tidak menodai predikat kewaliannya.
Firman Allah “Li” jikalau diartikan: “Bagi-Ku” intinya merupakan sifat ( صفة ) dari kata “wali”, akan tetapi, alasannya yakni redaksinya terletak sebelum kata “wali”, maka menjelma hal (حال). Dalam riwayat Ahmad disebutkan: Man adzan li waliyyan (Barang siapa yang menyakiti wali-Ku). Maka Aku telah mengumumkan perang. Maksudnya, Allah akan memperlakukan orang tersebut layaknya seorang musuh dalam sebuah peperangan, ibarat menyakiti dan sebagainya. Dalam hadis ini, terkandung bahaya yang sepatutnya kita hindari. Hal tersebut dikarenakan, orang yang diperangi oleh Allah berarti ia akan dibinasakan oleh-Nya.
Menurut Al-Fakihani, hadis di atas merupakan suatu majaz (kiasan), alasannya yakni orang yang benci kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah berarti ia telah menyelisihi Allah, barang siapa yang menyelisihi Allah, berarti ia telah menentang Allah, dan barang siapa yang menentang Allah, maka Allah akan membinasakannya. Hal-hal demikian ini berlaku sebaliknya, artinya barang siapa yang memuliakan wali-wali Allah, pasti Allah juga akan memuliakannya pula. “Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya...”
Baik dengan melaksanakan ketaatan yang berupa fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Secara tekstual, fardhu yang dimaksud yakni fardhu yang mula-mula dikhususkan oleh Allah bagi para mukallaf, bukan fardhu yang ditetapkan oleh mukallaf bagi dirinya sendiri. “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunah-sunah sampai Aku mencintainya...” Yang dimaksud yaitu, tidak hanya mengerjakan amaliyah sunah saja, akan tetapi, juga mengerjakan amaliah yang wajib ibarat shalat dan puasa. Ketika Allah telah menyayangi hamba-Nya, maka Dia tak ubahnya ibarat mata hamba-Nya yang dipakai untuk melihat, pendengaran hamba-Nya yang dipakai untuk mendengar, tangan hamba-Nya yang dipakai untuk memukul dan kaki hamba-Nya yang dipakai untuk berjalan.
Abdul Wahid bin Maimun dari Urwah dari Aisyah dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Baihaqi menambahkan:
“Dan pikirannya yang dipakai untuk berpikir serta lidahnya yang dipakai untuk berbicara.”
Dalam hadis Anas disebutkan:
“Barang siapa yang Aku cintai, maka Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan penguat baginya.”
Hadis di atas merupakan kiasan dari pertolongan dan motivasi yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, sehingga seperti Allah swt. menempatkan Zat-Nya terhadap hamba-Nya sebagai pancaindera yang sanggup dipergunakan dalam acara kesehariannya. Oleh alasannya yakni itu, dalam riwayat lain Al-Aufi menyebutkan:
“Dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dengan-Ku ia menampar, dan dengan-Ku ia berjalan.”
Pendengaran sebagaimana klarifikasi di atas sanggup pula berarti “apa yang didengar”. Hal tersebut dikarenakan, masdar sanggup berarti maf‘ūl ibarat pada lafal “Fulanun Amali” (Fulan yakni harapanku), dengan pengertian “Fulanun Ma’muli” (Fulan yakni orang yang saya harapkan).
Al-Fakihani menjelaskan, pengertian yang terkandung dalam hadis adalah, seorang hamba tidak mendengar kecuali zikir kepada Allah, tidak merasa nikmat kecuali mengucapkan kalimah Allah dan membaca kitab-Nya, tidak merasa riang kecuali dengan munajat kepada Allah, tidak melihat kecuali terhadap keajaiban-keajaiban kerajaan Allah dan tidak mengulurkan tangan serta melangkahkan kakinya kecuali untuk menggapai ridha Allah.
Menurut Al-Ittihadiyah, pengertian yang terkandung dalam hadis merupakan sesuatu yang terjadi secara hakikat (nyata), meskipun pendapat yang benar menyatakan keadaan hamba itu sendiri dengan pembuktian kedatangan Jibril as. dalam bentuk Dihyah Al-Kilbi. Pendapat ini ditentang oleh Syekh Qathbuddin Al-Qasthalani dalam tulisannya (semoga Allah Ta‘ala memberi pahala kepadanya) yang diriwayatkan dari Abu Utsman Al-Jiri salah seorang imam sufi yang disanadkan oleh Al-Baihaqi dalam Az-Zuhdu. Menurut beliau, pengertian yang terkandung dalam hadis adalah, Allah lebih cepat dalam menunaikan kebutuhan-kebutuhan hamba-Nya melebihi (kecepatan) telinganya dikala mendengar, matanya dikala melihat, tangannya dikala memegang sesuatu dan melebihi (kecepatan) kakinya dikala berjalan.
“Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku pasti memberinya...” akan apa yang diminta hamba-Nya. “... jikalau ia meminta pertolongan kepada-Ku, pasti Aku pasti melindunginya...” dari apa yang dikhawatirkan hamba-Nya.
Imam Thabrani dan Baihaqi dari Abu Umamah meriwayatkan:
“Apabila ia minta pertolongan kepada-Ku, maka Aku menolongnya.”
Sedangkan dari Hudzaifah, Imam Thabrani meriwayatkan:
“Ia termasuk para wali (kekasih)-Ku dan orang-orang pilihan-Ku, ia menjadi tetangga-Ku bersama para nabi dan siddiqin (orang-orang yang membenarkan) dan orang-orang yang mati syahid, (mereka berada) di surga.”
“Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan ibarat kebimbangan-Ku terhadap jiwa hamba-Ku yang beriman...”
Maksudnya, Allah tidak bimbang sedikit pun dalam mengutus utusan ibarat kebimbangan-Nya dalam mengutus malaikat untuk mencabut nyawa seorang mukmin, sebagaimana kisah Nabi Musa as. dikala menampar Malakul Maut (malaikat pencabut nyawa). Allah Ta‘ala menyandarkan hal itu kepada Zat-Nya alasannya yakni kebimbangan mereka dari perintah-Nya.
“...tidak bahagia mati...” Karena mati itu sangat sakit. “...sedangkan Aku tidak bahagia berbuat jelek terhadapnya...” Menurut Al-Junaid, kebencian yang dimaksud dalam pembahasan ini yakni kebencian seorang mukmin dikala menghadapi sulitnya mati. Ini bukan berarti, seorang mukmin benci terhadap mati, alasannya yakni pada hakikatnya mati justru sanggup mengantarkannya menuju rahmat dan ampunan Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, pisahnya ruh dari jasad (mati) merupakan keadaan yang sangat menyakitkan, sedangkan Allah Ta‘ala tidak bahagia menyakiti hamba-Nya yang mukmin. Menurut mereka, kebencian inilah yang dimaksud.
Hadis sebagaimana di atas sanggup pula bermakna, keburukan yang dimaksud yakni panjangnya umur. Hal tersebut dikarenakan, umur yang panjang (tua) menciptakan seseorang melaksanakan sesuatu yang hina (berperangai ibarat anak-anak), badannya bungkuk (tidak tegak lagi), sehingga hal-hal demikian sanggup membawanya kembali pada kondisi yang paling rendah (hina).
Adapun hadis dalam pembahasan ini mengatakan mulia dan tingginya kedudukan wali-wali Allah, sehingga jikalau seandainya maut bukanlah merupakan sesuatu yang wajib dirasakan oleh setiap orang mukmin, pasti Allah tidak akan mematikannya.
Berdasarkan hal di atas, sanggup diambil kesimpulan bahwa “kebimbangan” yang dimaksud yakni kebimbangan sebagaimana seseorang yang hendak berbuat sesuatu kepada kekasihnya, akan tetapi, jikalau hal itu dilakukan akan menyakiti kekasihnya (dilematis). Oleh alasannya yakni itu, dikala orang tersebut mengetahui rasa sakit yang diderita oleh kekasihnya manakala perbuatan tersebut dilakukan, pasti ia akan mengurungkan niatnya dan tidak jadi melakukannya. Akan tetapi, alasannya yakni ada kemaslahatan yang lebih besar di dalamnya, maka hal tersebut tetap dilakukannya. Inilah kebimbangan yang dimaksud, Allah menciptakan ungkapan demikian sesuai dengan apa yang berlaku pada makhluk-Nya. Ungkapan tersebut juga mengatakan kemuliaan dan tingginya derajat wali di sisi Allah. (Demikianlah klarifikasi yang diambil dari Syarah Qasthalani, Bab Tawadhuʻ, Jilid IX halaman 289)
Sumber : Buku “Kumpulan Hadits Qudsi”

Comments
Post a Comment