Kisah Masuk Islamnya Etnis Tionghoa
KH Ahmad Umar Abdul Mannan (1917-1980) yakni seorang kiai pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Magkuyudan Solo, Jawa Tengah yang mempunyai toleransi tinggi. Beliau tidak pernah mengajari atau menanamkan kebencian kepada orang-orang dari kelompok etnis ataupun agama lain. Kiai Umar pernah berafiliasi bersahabat dengan seseorang dari etnis Tionghoa yang tidak beragama Islam. Ia bekerja sebagai pegawai Perusahaan Lisrik Negara (PLN) di Solo.
Pegawai PLN yang beretnis Tionghoa itu berjulukan Mugisi. Kiai Umar sering berinteraksi dengan Pak Mugisi terkait dengan tugasnya sebagai penagih rekening listrik terutama untuk wilayah Mangkuyudan -lokasi Pondok Pesantren Al-Muayyad- dan sekitarnya. Kiai Umar menaruh perhatian dan respek kepada Pak Mugisi, bukan saja alasannya yakni Mugisi mempunyai perbedaan etnis tetapi juga perbedaan agama.
Mugisi beragama Buddha atau malah Kong Hu Cu. Lebih menarik lagi bagi Kiai Umar yakni Pak Mugisi sering hanya menggunakan celana pendek dikala berkeliling menarik tagihan listrik, termasuk dikala menagih ke Kiai Umar. Hal menyerupai ini bagi kalangan santri merupakan hal yang kurang lazim dalam budbahasa kepada seorang kiai.
Suatu hari Mugisi hendak menarik tagihan listrik ke Kiai Umar yang pada waktu itu sudah berkemas-kemas naik ke masjid untuk jamaah sholat Dzuhur. Kiai Umar meminta biar Pak Mugisi berkeliling dulu ke pelanggan lain dan sehabis itu gres kembali ke Kiai Umar.
Mugisi menyambut baik ajakan Kiai Umar. Selesai berkeliling ke para pelanggan, Mugisi kembali ke pondok untuk bertemu dengan Kiai Umar. Di ruang tamu, Kiai Umar sudah menunggunya. Mugisi dipersilakan masuk dan duduk di dalam untuk menikmati masakan dan minuman yang telah disediakan Kiai Umar. Di ruang inilah Kiai Umar menyerahkan uang pembayaran listrik sambil berbincang-bincang dengan Mugisi.
Hal menyerupai ini berlangsung terus menerus sampai balasannya secara rahasia Mugisi mengagumi seluruh keramahan, kebaikan dan nasihat-nasihat bijak Kiai Umar. Mugisi mencicipi sekali Kiai Umar sangat berbeda dengan sebagian orang Solo dalam memandang orang-orang etnis Tionghoa.
Kekaguman Mugisi pada Kiai Umar dari waktu ke waktu semakin meningkat sampai balasannya Pak Mugisi memohon Kiai Umar untuk menuntunnya membaca dua kalimat syadahat. Ya, Mugisi memeluk Islam dengan disaksikan para santri dan masyarakat di masjid pondok. Kiai Umar lalu menunjukkan nama gres untuk Pak Mugisi dengan nama Muhammad Salim.
Sejak mempunyai nama gres ini, Mugisi tidak lagi menggunakan celana pendek dikala keluar rumah untuk bekerja. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1960-an yang waktu itu aku mungkin belum lahir atau masih sangat kecil. Cerita ini sendiri aku dengar eksklusif dari H Ali Marsidi, mantan ketua RT yang rumahnya di sebelah barat Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Marsidi tahu betul kejadian itu alasannya yakni menyaksikan sendiri. Marsidi juga bercerita bahwa sehabis Mugisi masuk Islam, satu per satu dari anggota keluarganya menyusul masuk Islam. Kabar terakhir yang didengar Marsidi yakni bahwa Mugisi sudah dua kali naik haji ke Tanah Suci di Mekah.
Singkatnya, Kiai Umar tidak menyebabkan perbedaan etnis dan agama sebagai penghalang dalam berinteraksi sosial (muamalah) sebagai sesama warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mugisi hanyalah salah seorang dari sekian banyak orang Solo yang menjadi saksi atas toleransi dan penghormatan Kiai Umar terhadap perbedaan etnis dan agama. Bahwa lalu Mugisi memeluk agama Islam, hal itu atas keputusan sendiri yang yang dilindungi Undang-Undang.
Sumber : Situs PBNU
Comments
Post a Comment