Jangan Berlebihan-Lebihan Dalam Beragama
Usman bin Al-Aswad berkata, “Saya pernah berkeliling ke masjid-masjid di sekitar Ka‘bah bersama Mujahid. Maka dia mengangkat kepalanya memandang ke Abu Kubais (sebuah gunung di Mekah), kemudian berkata, ‘Andaikata ada seorang lelaki menafkahkan harta sebesar gunung ini dalam ketaatan kepada Allah, tidaklah dia tergolong pemboros. Akan tetapi, jika dia menafkahkan satu dirham dalam bermaksiat kepada Allah, maka dia memang tergolong pemboros’.”
Ada seseorang membelanjakan hartanya sebanyak-banyak-nya dalam kebaikan. maka dia ditegur, “Tak ada kebaikan dalam berlebih-lebihan.” Lalu jawabnya, “Tidak ada berlebih-lebihan dalam kebaikan.”
Ada pula sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar. Dia berkata, “Rasulullah saw. pernah melewati Sa‘ad yang saat itu sedang ber-wudu. Maka berkatalah beliau, ‘Untuk apakah berlebih-lebihan, hai Sa‘ad?’ Maka jawabnya, ‘Apakah dalam berwudu ada berlebih-lebihan?’ Jawab Rasul, ‘Ya, sekalipun kau berada di sungai yang mengalir’.”
Dan diriwayatkan pula oleh Ahmad dari Anas bin Malik, bahwa dia mengatakan, ada seorang pria tiba dari Tamim kepada Rasulullah saw. Maka katanya, “Ya Rasulullah, bersama-sama saya ini orang yang memiliki banyak harta dan memiliki keluarga, anak dan sebuah kota. Maka beritahukanlah kepadaku bagaimana caraku untuk bersedekah dan apa yang harus saya perbuat.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Engkau keluarkan zakat dari hartamu sebab hal itu akan mensucikan hartamu dan sambunglah relasi kerabatmu. Dan pahami juga hak peminta, tetangga, dan orang-orang miskin." Lalu ia berkata; "Wahai Rasulullah, sedikitkanlah untukku, " ia bersabda: , “Berikanlah kepada keluarga-keluarga yang erat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kau menghambur-hamburkan hartamu secara boros.” Maka berkatalah orang itu, “Cukuplah untukku, wahai Rasulullah, apabila saya telah menunaikan zakat kepada delegasimu, maka bersama-sama saya pun telah bebas dari zakat itu kepada Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. pun berkata, “Ya, apabila telah menunaikannya kepada delegasiku, maka kau benar-benar telah bebas dari zakat itu, dan kau akan memperoleh pahalanya, sedang dosanya akan dipikul orang yang menyelewengkannya.”
Demikian pula diriwayatkan dari Ali, dia berkata, “Apa-apa yang kau belanjakan atas dirimu dan keluargamu tanpa berlebih-lebihan dan boros, dan apa saja yang kau sedekahkan, maka kau akan mendapatkan pahala, sedang apa yang kau belanjakan semoga dilihat dan didengar orang, maka itu menjadi pecahan setan.”
Kemudian Allah swt. memperingatkan betapa buruknya menghambur-hamburkan harta itu dengan menyandarkannya kepada setan. Orang Arab mengatakan, “Siapa saja yang biasa melaksanakan tradisi dari suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, maka dia yaitu saudara mereka.”
Maksudnya, bersama-sama orang yang menghambur-hamburkan uang dan hartanya dalam melaksanakan maksiat kepada Allah, yakni membelanjakan hartanya bukan untuk ketaatan kepada Allah, maka mereka yaitu kawan-kawan setan di dunia hingga akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Dan barang siapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur'an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.” (Az-Zukhruf/43: 36)
Dan firman-Nya pula:
“(Diperintahkan kepada malaikat), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka’.” (Aṣ-Ṣāffāt/37: 22)
Maksudnya, beserta setan-setan yang menjadi teman mereka.
Sedang setan itu ingkar terhadap nikmat Tuhan yang telah memberi anugerah, tidak bersyukur atas nikmat tersebut, bahkan kufur dengan tidak taat kepada Allah dan melaksanakan kemaksiatan terhadap-Nya. Demikian pula saudara-saudara setan, yaitu orang yang menghambur-hamburkan harta dalam kemaksiatan kepada Allah, mereka tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya yang dikaruniakan kepada mereka. Bahkan mereka me-langgar perintah Allah dan tidak menganut sunah-Nya. Mereka meninggalkan kesyukuran atas nikmat tersebut, dan menerimanya dengan perilaku kufur Al-Kharki berkata, “Begitu pula orang yag diberi rezeki oleh Allah berupa harta dan kedudukan, kemudianmengunakannya untuk sesuatu yang tidak diridai Allah, maka dia telah kufur terhadap nikmat Allah. Karena itu, dia sama dengan setan, baik sifat atau perbuatannya.
Dinyatakannya setan sebagai makhluk yang kufur, tanpa menyebutkan sifat yang lain, merupakan keterangan bahwa pem-boros, saat dia memakai nikmat-nikmat Allah tidak pada tempatnya, berarti dia pun kufur terhadap nikmat Allah dan tidak mensyukurinya, sebagaimana setan yang kufur terhadap nikmat-nikmat menyerupai itu.
Sumber : Tafsir Al-Maraghi

Comments
Post a Comment