Ketika Buya Hamka Tidak Boleh Menyalati Mayat Bung Karno
Buya Hamka diminta menyalati mayat Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu Munafik dan Allah telah melarang Rasul menyalati jezanah orang Munafik (QS. At-Taubah: 84). Buya Hamka menjawab kalem, “Rasulullah diberitahu siapa yang Munafik itu oleh Allah, lha saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung Karno ini benar Munafik atau bukan?.” Maka Buya Hamka pun menyalati mayat Presiden pertama dan Proklamator Bangsa Indonesia.
Itulah perilaku ulama yang shalih. Beliau sadar bahwa memberi label terhadap orang lain merupakan hak prerogatif Allah. Ciri-ciri Munafik yang disebutkan dalam Al-Qur’an seharusnya menciptakan kita mawas diri, bukan malah dipakai untuk menyerang sesama Muslim, apalagi hanya lantaran perbedaan pilihan politik.
Larangan buat Rasul menyalati mayat orang Munafik itu lantaran doa Rasul maqbul jadi tidak selayaknya Rasul turut mendoakan kaum Munafik. Akan tetapi para sahabat yang lain tetap menyalatkan orang yang diduga Munafik lantaran para sahabat tidak tahu dengan niscaya mereka itu benar-benar Munafik atau tidak. Rasul hanya menceritakan bocoran dari langit siapa yang Munafik itu kepada sahabat yang berjulukan Hudzaifah. Hudzaifah tidak pernah mau membocorkannya meski didesak Umar bin Khattab. Walhasil, Umar tidak ikut menyalati mayat bila ia lihat belakang layar Hudzaifah tidak ikut menyalatinya, tetapi Umar sebagai khalifah tidak pernah melarang sahabat lain untuk ikut menyalati mayat tersebut. Belajarlah kita dari perilaku Umar, Hudzaifah dan Buya Hamka.
Masalah kepemimpinan umat itu buat Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA) bukan kasus aqidah. Lihat saja rukun iman dan rukun Islam kita tidak menyinggung soal kepemimpinan. Ini kasus siyasah, bukan aqidah. Jadi, ASWAJA tidak akan gampang mengkafirkan atau memunafikkan orang lain hanya gara-gara dilema politik. Kalau ada yang hingga tega mengkafirkan sesama Muslim hanya lantaran dilema politik sanggup dipastikan ia bukan potongan dari ASWAJA.
Kitab “Aqidah Thahawiyah” yang menjadi pegangan ulama salaf mengingatkan kita semua:
لا ننزل أحد منهم جنة ولا نارا، ولا نشهد عليهم بكفر ولا شرك ولا بنفاق ما لم يظهر منهم شيء من ذلك، ونذر سرائرهم إلى الله تعالى
“Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka masuk nirwana atau neraka. Kami tidak pula menyatakan mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama tidak tampak lahiriah mereka ibarat itu. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala.”
Begitulah berhati-hatinya para ulama salaf menilai status keimanan orang lain. Apa yang tampak secara lahiriah bahwa mereka itu salat, menikah secara Islam, berpuasa Ramadan, maka cukup mereka dihukumi secara lahiriah sebagai Muslim, dimana berlaku hak dan kewajiban sebagai sesama Muslim, ibarat berta’ziyah, menyalatkan dan menguburkan mereka. Masalah hati mereka, apakah ibadah mereka benar-benar lantaran Allah ta’ala itu hanya Allah yang tahu. Itulah sebabnya Buya Hamka tidak ragu memimpin salat mayat Bung Karno.
Imam al-Ghazali juga telah mengingatkan kita semua dalam kitabnya “Bidayah al-Hidayah”:
ولا تقطع بشهادتك على أحد من أهل القبلة بشرك أو كفر أو نفاق؛ فإن المطلع على السرائر هو الله تعالى، فلا تدخل بين العباد وبين الله تعالى، واعلم أنك يوم القيامة لا يقال لك: لِم لمَ تلعن فلانا، ولم سكت عنه؟ بل لو لم تعلن ابليس طول عمرك، ولم تشغل لسانك بذكره لم تسأل عنه ولم تطالب به يوم القيامة. وإذا لعنت أحدا من خلق الله تعالى طولبت به،
“Janganlah engkau memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang jago kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati insan hanyalah Allah SWT. Jangan pula engkau ikut campur dalam urusan hamba-hamba Allah dengan Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari final zaman kelak engkau tidak akan ditanya: ‘mengapa engkau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa engkau membisu saja wacana dia?’ Bahkan seandainya pun kamu tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu, dan tidak menyebutnya sekalipun, engkau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan dituntut oleh Allah nanti di hari kiamat. Tetapi bila kamu pernah mengutuk seseorang makhluk Allah, kelak kamu akan dituntut (pertanggungjawabannya oleh Allah SWT).”
Belakangan ini di medsos seringkali banyak yang berkomentar “Anda muslim?” untuk mencurigai dan mempertanyakan keislaman orang lain hanya lantaran berbeda pendapat. Atau menjadi viral ketika ini undangan untuk tidak menyalatkan mayat mereka yang menentukan pemimpin non-Muslim lantaran dianggap Munafik. Penjelasan saya di atas telah menawarkan bahwa perilaku mencurigai keislaman orang lain dan gampang memvonis orang lain Munafik yaitu perilaku yang tidak pantas dilakukan sesama Muslim. Para sahabat Nabi dan ulama salaf akan berhati-hati dalam soal ini.
Sumber: Situs PWNU Jatim
Comments
Post a Comment