Shalawat Yang Dikarang Oleh Imam Syafi’I
Sebagian kalangan membaca menuding Shalawat Nariyah sebagai perbuatan bid’ah lantaran bukan dari Rasulullah langsung. Menanggapi tudingan itu Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Ma’ruf Khozin mengatakan, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibn Taimiyah telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sobat dan ulama salaf. Hal itu, menurutnya terdapat dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.
“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, epilog seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di kawasan terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham 36)
Shalawat ‘Alqamah an-Nakha’i, seorang tabi’in :
صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham 75)
Shalawat Imam Syafi’i sebagai berikut :
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ.
“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya” (Jala’ al-Afham 230).
Demikian, kata Kiai Ma’ruf, beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sobat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam.
“Hal tersebut lalu dilanjutkan para ulama untuk menyusun bermacam-macam redaksi shalawat, sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain,” pungkasnya.
Shalawat Nariyah ditolak sebagian kalangan lantaran mengandung unsur tawassul. Menjawab tudingan tersebut, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Maruf Khozin mengatakan, berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya, (HR At-Tirmidzi).
Lalu, lanjut Kiai Maruf, oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk duduk perkara yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).
“Dari sini banyak para ulama beropini bahwa bertawassul dengan Nabi yaitu diperbolehkan,” katanya.
Kiai Ma’ruf menyebutkan pendapat para ulama yang memperbolehkan tawasul tersebut :
“Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama yaitu meminta kepada Allah dengan mediator (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada mediator suatu apa pun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”. Dalam duduk perkara ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara. Ulama fikih setuju bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik, alasannya yaitu hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara. Hanya saja para ulama berbeda pendapat perihal boleh atau tidaknya, menjadi 3 pendapat. Pendapat pertama yaitu boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik saat mereka hidup atau sehabis wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari.” (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).
“Sementara yang melarang tawassul yaitu Syaikh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja,” pungkasnya
Sumber : Situs PCNU Kendal
Comments
Post a Comment