Cara Menjalankan Sunnah Nabi Berdasarkan Syaikh Saifuddin Al-Amidi
Suatu malam Saifuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu dia seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat mayat Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.
Saifuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Saifuddin al-Amidi (1156-1233). Semula dia mengikuti mazhab Hanbali sewaktu dia masih kecil sesuai dengan lingkungannya ketika itu. Kemudian dia mencar ilmu pada Syekh Abul Qasim ibn Fadlan yang bermazhab Syafi'i. Sayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy'ariyah. Maka jadilah dia seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi'i yang Sunni Asy'ari. Dari Baghddad, dia pindah ke Mesir dimana dia mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, lalu dia pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan duduk perkara dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-'Amd, al-Mu'tamad, al-Burhan dan al-Mustasfa.
Nama kitab terakhir,”al-Mustasfa”, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah efek mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium mayat Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: "selepas mimpi itu saya berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat saya hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali".
Murid Imam al-Amidi yang sangat populer yaitu Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata wacana gurunya: "Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi." Atau di kesempatan lain, "Tidak saya dengar pengajaran yang paling manis mengenai kitab al-Wasith-nya Imam al-Ghazali menyerupai yang disampaikan oleh Imam al-Amidi" dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.
Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi yaitu mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar'i. Kemudian dia memaparkan pandangannya.
Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan insan pada umumnya menyerupai makan, minum, berdiri, dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak mempunyai konsekuensi hukum.
Saya sanggup tambahkan, hal ini dikarenakan semua insan melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori adat saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya sanggup beri referensi contohnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan sajian dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.
Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi menyerupai shalat tahajud. Atau perbuatan yang dihentikan dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, menyerupai menikahi wanita lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai insan khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk dia SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan kesudahannya tidak masuk kategori hukum.
Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun klarifikasi terhadap ibadah menyerupai shalat dan haji menurut dalil syar'i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: "ambillah cara manasik hajimu dari saya" atau "shalatlah kau sebagaimana saya shalat". Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang mempunyai konsekuensi hukum.
Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai adat yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana referensi sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan kesudahannya sanggup bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan menyerupai yang dijelaskan di atas.
Di atas adat dan aturan ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul menurut kecintaan kita kepada dia SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini korelasi khusus yang hanya sanggup dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening: Oh Muhammadku.
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment